Jumat, 20 Mei 2011

Hubungan antara Kehidupan Remaja, Perkembangan Teknologi, serta Pornoaksi & Pornografi


Avatar zulfahsulaiman
Oleh: Isma Eriyanti
Siswa SMA Negeri 3 Medan/Kelas XII IA5
Selama hidupnya manusia tidak akan pernah terlepas dari perkembangan teknologi. Pada awalnya teknologi memang diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia. Namun seiring perkembangannya, disadari atau tidak kita telah dihadapkan pada beberapa dampak negatif dari teknologi itu sendiri. Tentu kita tidak mengesampingkan berbagai manfaat yang dapat kita rasakan dengan eksistensi dari perkembangan teknologi dalam kehidupan kita. Untuk itu kita perlu memahami makna dari perkembangan teknogi tersebut sehingga kita memperoleh faedahnya dan menjauhi pengaruh negatifnya.
Perkembangan media massa
Perkembangan dan kebebasan media massa adalah tolak ukur kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula yang terjadi sekarang ini, media cetak dan elektronik berkembang cukup pesat. Secara kuantitas media seperti koran, tabloid, televisi, VCD, dan internet sangat jauh meningkat dibandingkan masa sebelumnya. Namun hal yang perlu disayangkan adalah peningkatan ini tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas. Bila kita mencermati isinya, banyak media yang tidak berbobot dan terkesan hanya berorientasi terhadap komersialisme, atau dengan kata lain sesuai selera pasar. Namun pihak-pihak yang bersangkutan lupa untuk memikirkan aspek edukasi dan nilai-nilai yang sesuai dengan budaya masyarakat.
Armando, anggota Komisi Penyiaran Indonesia menyatakan bahwa dalam Pedoman Perilaku Penyiaran & Standar Program Siaran (P3/SPS) termuat kewajiban klasifikasi acara yaitu; anak, remaja, dewasa dan semua umur. Dan tayangan acara untuk dewasa hanya dapat disiarkan pada pukul 22.00-03.00. Namun pada kenyataannya banyak siaran yang ditujukan untuk usia dewasa berada di bawah waktu tersebut. Kemudian yang dirugikan atas perilaku apatis atau ketidakpedulian ini adalah para konsumen. Selain itu pemerintah juga sudah seyogyanya turut berperan dalam membentuk regulasi yang jelas dan lebih terarah mengenai masalah kebebasan pers dan media agar dampak negatif dari perkembangan media masa itu sendiri setidaknya dapat diminimalisir.
Eksistensi pornografi dan pornoaksi
Masalah pornografi dan pornoaksi bukanlah hal yang baru dalam kehidupan masyarakat. Malah kedua hal ini telah menjadi pembicaraan yang cukup santer terdengar di khalayak umum. Namun satu hal yang sampai sekarang belum juga usai diperdebatkan adalah mengenai hal seperti apa yang disebut pornografi dan batasan dari pornografi itu sendiri karena masih saja ada pihak yang demi kepentingannya semata bersikap pro terhadap pornografi dengan dalih kebebasan berekspresi, HAM dll.
Secara etimologis, istilah pornografi berasal dari bahasa Yunani kuno “porne” yang berarti wanita jalang, dan “graphos” yang artinya gambar atau lukisan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 696), pornografi diartikan sebagai: (1). Penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau untuk membangkitkan nafsu birahi, mempunyai kecenderungan merendahkan kaum wanita; (2). Bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu seks. Sedangkan yang dikatakan sebagai pornoaksi adalah apabila hal hal yang terkandung maknanya dalam pornografi tersebut diwujudkan melalui tindakan. Menurut FX Rudi Gunawan dalam bukunya “Filsafat Sex” mengidentikkan pornoaksi dengan “sexual behaviour” atau perilaku seksual yang mencakup cara berpakaian seronok, gerak-gerik dan ekspresi wajah yang menggoda, suara yang mendesah dan majalah porno.
Pornografi muncul dalam berbagai perwujudan, seperti penyebaran model pakaian yang tidak sopan dan bertentangan dengan aturan-aturan budaya Timur serta paras yang mencolok, pemutaran film-film amoral melalui chanel-chanel tv dan internet, serta penyebaran kaset-kaset dan cd-cd hiburan yang tidak mendidik. Pencetakan buku-buku, majalah, dan novel yang bertentangan dengan etika dan membakar nafsu seks para remaja. Celakanya, media cetak semacam ini secara bebas bisa diperoleh dengan mudah di kios-kios kecil pinggir jalan maupun di perempatan lampu lalu lintas. Siapapun bisa mengaksesnya dengan sangat mudah tanpa melihat batas usia, tentu dengan harga yang sangat murah pula. Tentunya hal tersebut akan menjadi faktor yang dapat memperparah moral anak-anak dan remaja.

Pengaruh terhadap remaja
Tentu saja hal yang dikhawatirkan adalah jika remaja yang sebenarnya belum seharusnya mendapatkan suguhan semacam hal-hal tersebut menjadi pengkonsumsi pornografi. Menurut Bapak Psikologi remaja yaitu Stanley Hall, masa remaja adalah masa badai dan tekanan (storm and stress). Tambahan pula, menurut seorang psikonalis Erik H. Erikson, oleh masyarakat Amerika memberinya julukan "Guru Masa Kini", dalam masa remaja ini muncullah suatu "krisis identitas", yang berakhir entah dengan membawa suatu pembentukan identitas "Ego" yang mantap atau menghasilkan "rasa kehilangan diri" yang agak patologis. Maksud dari pandangan kedua pakar tersebut tak lain adalah remaja dalam tahap kehidupannya ini cenderung masih mudah terbawa pengaruh. Jika mereka terbawa pengaruh yang baik, maka tentulah mereka akan menjadi baik. Hal yang menjadi perhatian adalah jika para remaja terpengaruh oleh hal-hal negatif yang dikhawatirkan akan terbawa sebagai identitas hidupnya di masa yang akan datang.
Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu: kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan, ketidakstabilan emosi, adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup, senang bereksperimentasi, senang bereksplorasi, mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
Dari beberapa karakteristik tersebut, dapat kita ketahui bahwa jika pornografi telah masuk dalam proses pencarian jati diri seorang remaja yang cenderung labil dan mudah tepengaruh, maka begitu banyak dampak yang akan ditimbulkan terhadap perkembangan sosial dan psikologi anak tersebut. Diakui atau tidak pornografi dan pornoaksi sangat mempengaruhi nilai-nilai moral yang sekaligus juga nilai-nilai sosial.
Salah satunya uji klinis yang dilakukan Victor B. Cline, dimuat dalam majalah World & I, December 1992 yang menunjukkan bahwa akses pornografi memberi dampak yang signifikan terhadap para pengkonsumsi pornografi. Bagi mereka yang sudah ketagihan dan senantiasa meningkatkan usahanya dalam mengakses pornografi maka ia akan mengidap kondisi kejiwaan yang disebut desensitisasi, yaitu kehilangan rasa malu dalam pergaulan sosial mereka dalam hal sex. Kalau telah kehilangan rasa malu dalam pergaulan sosial berkenaan dengan sex, berpotensi besar untuk melakukan dampak yang eskalatif. Bila seseorang suka mengakses pornografi, maka ia akan ketagihan untuk melihatnya lagi dan lagi sehingga memberi dampak kebiasaan atau habit. Selanjutnya, jika ia sudah biasa mengakses pornografi maka ia akan berusaha meningkatkan usaha mengaksesnya secara lebih lagi dalam bentuk jenis dan waktu mengakses. Ini yang disebut eskalasi.
Menurut Shakina Mirfa Nasution, seorang sosiolog dari Aliansi Selamatkan Anak Indonesia, kerusakan otak yang diakibatkan pornografi yang dilihat, didengar dan dirasakan akan melebihi kokain karena pornografi akan mengaktifan jaringan seks yang diciptakan Tuhan untuk orang yang sudah menikah. Ia menjelaskan, dampak psiko-sosialnya remaja akibat pornograsi mulai dari adiksi (ketagihan) sampai ekskalasi perilaku seksual menyimpang seperti lesbian, incest, pedophilia, dan desensifitasi atau penurunan sensivitas seks yang berujung kepada tindakan (acting out), serta runtuhnya nilai-nilai agama, moral, tatanan keluarga, budaya, dan Pancasila..

Kesimpulan
Pornografi dan pornoaksi merupakan satu bentuk eksploitasi seksual yang mereduksi dimensi seksualitas, sehingga ia dipandang sekadar sebagai konsumsi belaka. Seksualitas hanya dipahami hanya dalam aspek genetalis dan organ sekunder lainnya, sementara dimensi behavioral psiko-sosial, klinis atau kulturalnya terlupakan. Padahal, seksualitas secara langsung terkait dengan serangkaian luas konteks sosial karena mencerminkan nilai-nilai dari masyarakat yang bersangkutan, baik nilai yang berdimensi psikis, sosial maupun human religius.
Jika kehidupan masyarakat dibombardir secara terus-menerus dengan suguhan yang tidak mengindahkan batas-batas nilai kesopanan, bukan tidak mungkin masyarakat akan sampai pada satu titik di mana pornografi dan pornoaksi tidak lagi dianggap sebagai suatu yang tabu dan asusila. Masyarakat akan menjadi terbiasa dan menganggap semua itu sebagai kewajaran. Diawali dengan terbiasa membaca dan melihat, lama-kelamaan perilaku pun berubah. Perasaan malu sudah tidak ada lagi, dan berkembanglah sikap apatis. Akhirnya orang merasa bebas merdeka untuk melakukan apapun tanpa adanya lagi kontrol masyarakat.
Dengan demikian jelaslah sudah bahwa untuk menangani masalah pornografi dan pornoaksi yang kian maraknya dalam kehidupan sekarang ini, seluruh aspek kehidupan perlu untuk dipahami, terutama sosial cultural dan human religius. Tidak seharusnya kita sebagai makhluk bebudaya dan beretika mengalami degradasi nilai-nilai sosial yang selama ini telah berakar dalam kehidupan masyarakat kita karena pengaruh perkembangan teknologi. Sebagai subjek sekaligus objek dari perkembangan teknologi, sudah seharusnya kita tanggap dan bersikap selektif terhadap penggunaan teknologi. Maksudnya kita harus pandai memilah milah antara hal yang baik dan sesuai dengan kepribadian budaya kita dan hal yang tidak layak untuk diimplementasikan dalam kehidupan.
Peranan dari semua pihak juga sangat berpengaruh. Terlebih dahulu adalah diri kita sendiri, bagaimana cara kita untuk dapat membentengi diri kita dari hal-hal negatif tersebut. Tentu dengan mempertebal keimanan kita. Selanjutnya peran orang tua juga memiliki andil yang cukup besar terhadap hal ini. Penanaman nilai-nilai sosial kepada anak sejak dini perlu terus ditingkatkan. Selain itu juga pengawasan terhadap perilaku anak dalam proses perkembangannya menuju kedewasaan. Di samping itu, pemerintah juga perlu membuat regulasi yang tegas mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hal ini. Seperti dalam hal kebebasan pers, media, dan tindak lanjut terhadap pelaku pornografi dan pornoaksi. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah kontrol dari masyarakat. Untuk bersikap tanggap dan tidak acuh terhadap kehidupan sekitar. Jika semua elemen dari aspek kehidupan ini pada akhirnya dapat merampungkan hal-hal tersebut, bukan tidak mungkin masalah pornografi dan pornoaksi yang selama ini diperdebatkan akan menemukan titik terang atas penyelesaiannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar